Di tengah kemegahan harta yang menyelimuti bupati Lingga dan termasuk salah satu bupati terkaya di Kepulauan Riau, rakyatnya justru hidup dalam belenggu kemiskinan struktural yang seolah tak berujung. Sebuah pemandangan kontras yang menyayat hati, kekayaan pribadi pejabat yang melimpah ruah berhadapan dengan realitas pendapatan per kapita warga yang memprihatinkan.
Kabupaten Lingga, dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, kini menjadi saksi bisu ketertinggalan. Infrastruktur jalan yang rusak parah, fasilitas kesehatan yang minim, kualitas pendidikan yang rendah, dan terbatasnya akses ekonomi adalah gambaran miris yang terus berulang. Di sisi lain, laporan kekayaan bupati menunjukkan angka fantastis—miliaran rupiah yang entah bagaimana mengalir, di tengah daerah yang seharusnya menjadi prioritas pembangunannya.
Pendapatan per kapita masyarakat Lingga masih jauh di bawah standar, bahkan tertinggal dari kabupaten tetangga di Kepri. Alih-alih mengemban amanah untuk kesejahteraan rakyat, bupati justru terkesan sibuk mengukuhkan kekuasaan dan mempertebal pundi-pundi pribadi. Janji pembangunan hanya menjadi narasi kosong, terhalang oleh kepentingan segelintir elit.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa berbangga dengan kekayaannya, sementara rakyat yang dipimpinnya hidup dalam keterpurukan? Adakah makna dari jabatan tinggi jika tak mampu mengangkat martabat ekonomi masyarakat?
Lingga merindukan pemimpin yang bukan hanya kaya harta, tapi juga kaya empati dan integritas. Pemimpin yang jujur, berani memotong akar korupsi, dan bertekad mengentaskan kemiskinan yang telah lama membelit. Karena, ukuran kekayaan sejati seorang kepala daerah terletak pada seberapa besar ia mampu mengubah kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik, bukan pada jumlah saldo di rekening pribadinya.
Penulis adalah Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Megat Sri Rama
Komentar