Sambut Idul Fitri Dengan Kegembiraan

IDUL FITRI selalu hadir sebagai penutup ibadah puasa Ramadhan setiap tahun. Sudah barang tentu kita semua bersama seluruh kaum muslimin senantiasa menyambut dan merayakannya dengan rasa penuh kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan dan kesukacitaan. Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah: sudah benarkah sikap dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan renungan dan muhasabah (introspeksi atau evaluasi diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri seperti hari ini.

Mari kita lihat sejenak beragam pemaknaan dan penyikapan yang ada di masyarakat kita terhadap hari raya idul fitri ini. Diantara masyarakat ada yang memelesetkan idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran menjadi hari bubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula ke masjidnya, bubar baca Qur’annya, dan seterusnya dan seterusnya. Artinya bubar Ramadhan-nya berarti bubar pula ketaatannya (?).

Sementara itu banyak kalangan yang memaknai dan memahami hari raya lebaran ini hampir hanya sebagai hari yang identik dengan segala yang serba baru dan anyar; baju baru, celana baru, jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang pesta kembang api dan ‘perang’ petasan! Meskipun yang disebutkan terakhir ini sudah sangat berkurang sekarang jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, dikarenakan adanya serangan virus yang tengah mewabah d Indonesia bahkan di negara-negara besar. Virus corona atau yang dikenal dengan Covid-19 menjadi momok menakutkan dijaman ini.

Sebagaimana, berdasarkan fakta dan realita kebiasaan masyarakat kita, selama ini telah terbangun opini publik yang rasanya sangat sulit untuk diubah, yakni bahwa hari idul fitri itu sama dengan hari mudik dan pulang kampung massal untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan. Tapi disini, tentu bukan mangan gak mangan ngumpul, tapi justru ngumpul-ngumpul untuk mangan-mangan, karena pada hari raya hampir bisa dipastikan di setiap rumah keluarga muslim makanan dan jajanan selalu banyak dan bermacam ragam. Disamping itu telah terbentuk pula kebiasaan yang sudah merata di masyarakat kita bahwa, hari idul fitri adalah hari salam salaman, hari maaf maafan, hari saling bersilaturrahim antar keluarga, kerabat, handai tolan, tetangga dan sahabat.

Itu adalah sekelumit gambaran tentang beragam pemaknaan, penyikapan dan fenomena seputar hari raya idul fitri di masyarakat kita. Tentu masih banyak lagi yang lainnya. Dan tentu saja bukan berarti itu semua salah. Sebagiannya adalah benar, baik, positif dan justru merupakan salah satu sunnah hasanah (kebiasaan baik) yang harus tetap dipertahankan, seperti kebiasaan silaturrahim itu misalnya. Namun jika yang kita pahami dan dapatkan dari idul fitri yang merupakan penutup dan sekaligus pelengkap ibadah Ramadhan, hanyalah yang seperti itu saja, tentu sangat tidak tepat.

Karena Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan langsung oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus yang mereka rayakan dengan permainan, maka beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” mereka menjawab; “Kami biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih Jahiliyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Iedul Adha) dan hari raya Iedul fithri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).

Dan kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan dengan dua rukun utama ajaran Islam yakni: puasa Ramadhan dan  haji ke Baitullah di Tanah Suci Mekkah. Maka Idul Fitri dengan demikian – sebagaimana Idul Adha – adalah merupakan salah satu diantara hari-hari dan syi’ar-syi’ar Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita.

Allah Ta’ala berfirman
”Begitulah, dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj : 32).
Nah, sebagai salah satu syi’ar Allah yang istimewa, tentu saja idul fitri memiliki muatan makna dan kandungan hikmah yang banyak dan istimewa pula, dan yang sangat kita butuhkan sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup kita selanjutnya pasca Ramadhan.

Dan dalam kesempatan khutbah kali ini, saya ingin mengajak para jamaah dan seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mentadabburi dan merenungkan tentang beberapa hikmah besar di balik momentum syi’ar hari raya idul fitri ini.

Anda mungkin juga berminat

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept