JAKARTA, Kepritoday.com – Isu reklamasi kembali hangat pasca pelantikan Gubernur Baru DKI Jakarta Anis-Sandi. Betapa tidak, menolak reklamasi adalah janji politik Anis-Sandi. Tentu sebagai politisi yang punya moral tinggi wajib menunaikan janji politik tersebut.
Namun memang bukan hal mudah karena menimbulkan perlawanan secara politik termasuk dicurigai melemahnya komitmen Anis -sandi yang di tandai dengan perjumpaan senyap “pemilik” reklamasi di kediaman Prabowo Subianto.
Sebagaimana Majalah Tempo edisi 22 Oktober 2017 melaporkan, pertemuan itu terjadi pada Agustus lalu. Itu berarti sebelum Anies dilantik sebagai gubernur Jakarta. Menurut Tempo, dalam pertemuan itu selain tuan rumah Prabowo Subianto, ada dua tamu Prabowo yaitu bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, dan pemilik Grup Agung Sedayu yang punya lima pulau reklamasi, yaitu Richard Halim Kusuma. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Gerindra, Muhammad Taufik, juga dilaporkan hadir.
Masih menurut Tempo, Prabowo pada kesempatan itu mempersilakan Tomy Winata menjelaskan tujuan pertemuan. Tomy lalu memulai percakapan dengan memperkenalkan Richard. Richard merupakan putra Sugianto Kusuma alias Aguan, bos Grup Agung Sedayu. Agung Sedayu merupakan induk PT Kapuk Naga Indah, pemegang izin Pulau A, B, C, D, dan E.
Jika komitmen Anis – Sandi melempem berarti Anis- Sandi menunjukkan sikap “penghianatan” atas amanah rakyat yang getol menolak reklamasi semasa kampanye dan bahkan menjadi titipan masyarakat pesisir saat debat kandidat.
Jika Anis-Sandi membiarkan akhirnya bernegosiasi untuk mengkalkulasi untung rugi berarti Anis -Sandi sudah “Buta pengetahuan” karena melihat reklamasi dengan pendekatan antroposentrisme. Seharusnya persoalan reklamasi teluk jakarta lebih dipandang pada pendekatan ekosentrisme.
Cara pandang ini yang penting supaya Anis-Sandi tidak melakukan pembiaran pada kejahatan lingkungan yang sedang berlangsung. Kenapa saya mengajak Anis-Sandi melihat reklamasi lebih pada pendekatan ekosentrisme ketimbang antroposentrisme?.
Karena cara pandang antroposentrisme lebih pragmatis, dimana selalu mengukur pembangunan dengan hitung-hitungan manusia dan ekonomi. Dibandingkan dengan pendekatan ekosentrisme yang melihat reklamasi lebih pada keberlangsungan ekosistem didalamnya secara berkelanjutan.
Padahal ekosistem yang terjaga akan bermuara pada kesejahteraan manusia juga. Bayangkan saja jika reklamasi diteruskan bersamaan dengan pemanasan global mengakibatkan kenaikan permukaan air laut, maka tenggelamlah puluhan ribu pemukiman penduduk yang tinggal di kawasan pantai reklamasi termasuk pemukiman daerah Tanjung Priok.
Akhirnya, ongkos yang harus di keluarkan pemerintah untuk evakuasi, bantuan logistik, perbaikan infrastruktur dan lain-lain terhadap korban akibat banjir jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang di dapat negara dari pengembang.
Itupun jika terpaksa saya harus ngomong ekonomi, ya sudah bahwa sebenarnya keuntungan ekonomi reklamasi lebih berpihak kepengembang dan juga oknum pemerintah yang “merasa miskin” turut “bermain”.
Terakhir pesan saya untuk Anis-Sandi, jangan terlalu sering komunikasi dengan pihak pengembang dan teruslah meninggikan moral sebagai pejabat yang kata dan perbuatan adalah satu.(*)
Sumber : Andi Fajar Asti
Ketum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia/Presiden Sahabat Indonesia Hijau (SAHIH) Pemuda Muhammadiyah.